Dinamika Peran Sosial Politik Ulama dan Jawara di Pandeglang Banten

waktu baca 4 menit
Kamis, 21 Nov 2024 06:09 0 193 Redaksi

OPINI, SeputarBantenID — Dinamika sosial-politik di Indonesia, khususnya di daerah Pandeglang, Banten, memberikan gambaran menarik tentang interaksi antara dua kelompok berpengaruh: ulama dan jawara. Sebagai tokoh yang memiliki posisi penting dalam masyarakat, ulama diakui sebagai pemimpin spiritual, sementara jawara berfungsi sebagai aktor non-formal yang memiliki kekuatan dalam konteks sosial. Namun, saat ini terlihat adanya penurunan peran politik ulama dan peningkatan dominasi jawara dalam panggung politik lokal. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang relasi kekuasaan dan pengaruh kebijakan politik terhadap interaksi kedua entitas tersebut.

Pertama-tama, kita perlu mengakui bahwa jawara telah mengambil peran yang lebih menonjol dalam konstelasi politik lokal. Mereka sering dianggap sebagai pelindung masyarakat dan penggerak dalam pengambilan keputusan. Sebagai contoh, dalam pemilihan kepala daerah, jawara sering kali menjadi jembatan antara masyarakat dan calon pemimpin, mendukung kandidat yang dianggap mampu mewakili aspirasi rakyat. Dalam banyak kasus, dukungan jawara dapat menjadi penentu dalam kemenangan kandidat, yang menunjukkan betapa besar pengaruh mereka dalam politik lokal. Namun, meskipun jawara tampil dominan, kekuasaan sosial ulama tetap signifikan. Ulama masih dianggap sebagai panutan dan memiliki kemampuan untuk memengaruhi keputusan masyarakat, terutama dalam hal yang berkaitan dengan nilai-nilai spiritual dan moral.

 

Relasi patron-klien yang khas di Banten menjadi kunci untuk memahami dinamika ini. Dalam konteks ini, ulama berfungsi sebagai patron, sementara jawara dapat dianggap sebagai klien. Dalam banyak situasi, jawara membutuhkan legitimasi sosial yang diberikan oleh ulama. Misalnya, seorang jawara yang terlibat dalam politik sering kali menciptakan hubungan dekat dengan ulama untuk memperoleh dukungan moral dan sosial dari masyarakat. Hal ini menciptakan rasa saling ketergantungan yang kuat, di mana jawara berusaha untuk memenuhi harapan ulama, sementara ulama mengandalkan jawara untuk melindungi masyarakat mereka dalam konteks yang lebih luas.

 

Namun, pengaruh kebijakan politik tidak bisa diabaikan. Kebijakan pemerintah sering kali menentukan batasan peran kedua kelompok ini. Sejarah menunjukkan bahwa kebijakan kolonial Belanda yang mempolitisasi jawara sebagai bandit sosial berakibat fatal terhadap legitimasi mereka dalam masyarakat. Pendekatan ini tentunya menurunkan derajat sosial jawara, tetapi pada saat yang sama, kebijakan ini juga memberikan peluang bagi jawara untuk mengkonsolidasikan kekuatan mereka sebagai pelindung masyarakat.

 

Selanjutnya, pada era Orde Baru, pemerintah melakukan upaya sistematis untuk mengontrol aktivitas ulama dan jawara melalui pembentukan organisasi-organisasi yang berfungsi untuk menghegemoni keduanya. Dalam hal ini, pemerintah mencoba untuk menciptakan struktur kekuasaan yang menguntungkan mereka, sementara pada saat yang sama mengurangi kemampuan ulama dan jawara untuk berfungsi secara independen. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan kebijakan politik sangat berpengaruh terhadap pergeseran kekuasaan dan peran sosial kedua kelompok ini.

 

Penting untuk dicatat bahwa, meskipun jawara mungkin terlihat lebih dominan secara politik, pengaruh sosial ulama tetap lebih kuat. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa masyarakat cenderung lebih mempercayai ulama dalam hal pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, dalam situasi konflik sosial, masyarakat sering kali merujuk kepada ulama untuk mencari solusi, menunjukkan bahwa ulama memiliki kapasitas untuk meredakan ketegangan sosial yang mungkin muncul.

 

Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa meskipun terdapat perubahan dalam konstelasi politik yang memberi lebih banyak ruang bagi jawara, kekuasaan sosial ulama tetap menjadi penentu dalam konteks pengambilan keputusan masyarakat. Dinamika ini mencerminkan kompleksitas hubungan antara dua kekuatan yang berbeda tetapi saling melengkapi dalam konteks masyarakat Banten.

 

Dalam analisis lebih dalam, penting untuk mempertimbangkan kondisi masyarakat yang agraris, tradisional, dan religius. Karakteristik ini menciptakan ikatan yang kuat antara ulama dan masyarakat, di mana nilai-nilai spiritual dan tradisi lokal menjadi landasan dalam membangun relasi sosial. Oleh karena itu, kebijakan politik yang tidak memperhitungkan konteks sosial-budaya ini bisa berisiko menciptakan resistensi dari masyarakat.

 

Akhirnya, dinamika hubungan antara ulama dan jawara di Pandeglang, Banten, merupakan cerminan dari interaksi kompleks antara kekuasaan politik dan sosial. Kebijakan yang diambil oleh pemerintah sentral perlu dipertimbangkan dalam konteks lokal untuk mencapai keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini, ulama tidak hanya perlu dilihat sebagai pemimpin spiritual tetapi juga sebagai aktor kunci dalam proses politik yang dapat mempengaruhi nasib komunitas. Sebaliknya, jawara harus diakui perannya sebagai penggerak perubahan yang dapat bekerja sama dengan ulama untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik.

 

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk terus mengkaji relasi ini agar bisa memahami bagaimana kedua kekuatan ini dapat berkolaborasi dalam menciptakan struktur sosial-politik yang lebih inklusif dan berkeadilan di masa depan. Dengan memahami hubungan kompleks ini, kita dapat mengambil langkah-langkah yang lebih tepat untuk mendukung peran ulama dan jawara dalam konteks pembangunan sosial politik di Banten.

 

Penulis: Dede Juansyah, Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam Sultan Maulana Hasanudin. (*)

KPU Kota Tangerang.
Fraksi Golkar Kabupaten Tangerang Mengucapkan selamat natal dan tahun baru.
Hendri Hermawan Kepala DTRB Kabupaten Tangerang Mengucapkan selamat natal dan tahun baru.
LAINNYA