Melamar Bakal Calon Kepala Daerah

waktu baca 5 menit
Senin, 3 Jun 2024 14:38 0 14 Redaksi

Oleh : Ocit Abdurrosyid Siddiq Pegiat Demokrasi dan Pemilu

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

OPINI – Mestinya, proses pencalonan kepala daerah itu seperti bakal calon pasangan Khofifah Indar Parawansa dengan Emil Dardak di Jawa Timur. Keduanya diminta, didukung, diusung oleh gabungan partai politik agar bersedia menjadi calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur periode 2025-2030.

Keduanya dipinang oleh partai politik. Pasangan ini banyak dilirik oleh partai politik karena berpeluang menang tersebab telah menunjukkan kinerja yang baik pada periode sekarang. Andai jadi dan terpilih, mereka akan menjabat untuk periode kedua sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur.

Partai Golkar, Partai Demokrat, dan Partai Amanat Nasional telah “melamar” Khofifah dan Emil untuk bersedia dicalonkan. Jadi, yang melamar itu partai politik kepada bakal calon. Bukan bakal calon mendaftar kepada partai politik.

Selama ini yang lazim terjadi adalah sebaliknya. Para bakal calon melamar dan mendaftarkan dirinya kepada partai politik. Partai politik melakukan penjaringan bakal calon. Para pendaftar bersaing untuk mendapatkan rekomendasi dari partai politik.

Masih mending bagi bakal calon kepala daerah atau wakil yang merupakan kader partai politik sendiri. Mereka mendapatkan privilege untuk dicalonkan oleh partai politiknya. Walaupun masih harus bersaing dengan para pendaftar lain diluar kader partai politik.

Sementara bagi pendaftar yang bukan kader partai politik, mereka mesti mengajukan dirinya ke sebanyak-banyaknya partai politik hingga diharapkan mendapatkan dukungan batas minimal syarat pendaftaran, yaitu 20% kursi DPRD.

Mereka mesti mengikuti serangkaian seleksi seperti pemaparan visi dan misi serta program kerja yang digelar oleh partai politik. Untuk bakal calon kepala daerah tingkat kabupaten atau kota, kadang mesti “diuji” oleh pengurus partai politik tingkat kabupaten dan kota, provinsi, dan kadang hingga di tingkat nasional.

Pelaksanaan pemaparan visi dan misi serta program kerja para bakal calon kepala daerah ini, biasanya digelar di kantor partai politik. Ada juga yang menggelarnya di tempat lain, misalnya di hotel. Pastinya menghajatkan biaya. Dan biaya ini kadang dibebankan kepada para pendaftar.

Bila seorang bakal calon mendaftar pada beberapa partai politik dan partai politik tersebut menggelar acara pemaparan visi dan misi serta program kerja di hotel yang menghajatkan biaya yang dikenakan kepada para pendaftar, maka bisa dibayangkan berapa rupiah uang yang harus dikeluarkan oleh para pendaftar.

Masih untung bila acara tersebut hanya digelar di tingkat kabupaten dan kota. Namun kadang ada partai politik yang juga menggelar acara yang sama di level provinsi. Bahkan ada partai politik yang mewajibkan para bakal calon untuk presentasi di tingkat nasional.

Rangkaian seleksi belum selesai pasca pemaparan visi dan misi serta program kerja. Masih ada tahapan lain yang akan menentukan para bakal calon sebagai yang terpilih. Yaitu survey yang dilakukan oleh partai politik sebagai cara untuk mengukur popularitas dan elektabilitas sang calon.

Pelaksanaan survey dengan melibatkan banyak pihak, karena mesti ada tim dan petugas yang turun ke lapangan untuk bertemu dengan masyarakat, tentu memerlukan biaya. Dan lagi-lagi, biaya untuk survey ini biasanya dibebankan kepada para pendaftar bakal calon kepala daerah.

Apakah setelah melewati ujian kompetensi lewat pemaparan visi dan misi serta program kerja, lalu hasil survey ternyata menempatkan seseorang sebagai yang paling populer dan elektabilitasnya tinggi, lantas otomatis mendapatkan tiket dari partai politik berupa surat keputusan sebagai calon terpilih? Mestinya sih begitu. Tapi nanti dulu!

Karena hampir tidak ada partai politik yang memiliki 20% atau lebih kursi di DPRD, dan karenanya partai politik tersebut tidak bisa sendirian mengusung bakal calon kepala daerah, maka mesti berkoalisi dengan partai politik lain sehingga mencapai angka batas minimal dukungan tersebut.

Lagi-lagi sang bakal calon mesti berusaha untuk mendapatkan dukungan dari partai politik lain. Dan tentu saja apa yang mesti dia lakukan pada partai politik tersebut, tidak jauh berbeda dengan apa yang sudah dilakukan pada partai politik sebelumnya. Baik uji kelayakan juga ketersediaan pendanaan.

Bahkan ada kabar beredar bahwa disinyalir ada partai politik tertentu yang “menghargakan” dukungan. Ini yang kerap disebut dengan istilah mahar politik, yang adalah pemberian sejumlah uang dari bakal calon kepala daerah kepada partai politik.

Besarannya variatif. Kabar burung dari mulut ke telinga yang beredar namun belum bisa dipastikan kebenarannya, konon untuk tingkat kabupaten dan kota, dikenakan tarif dengan kisaran antara 250 juta hingga 300 juta untuk satu kursi di DPRD.

Artinya, bila dalam satu kabupaten atau kota ada 50 kursi anggota DPRD, maka 20% nya adalah 10 kursi. Bila 1 kursi “seharga” 300 juta, maka seorang bakal calon bupati atau walikota dapat diusung oleh sebuah partai politik atau gabungan partai politik, mesti merogoh kocek sedikitnya 3 milyar.

Itu untuk tingkat kabupaten dan kota. Mafhumnya, untuk tingkat provinsi, seseorang yang berniat maju sebagai calon gubernur mesti menyiapkan dana lebih besar lagi. Itu baru pembiayaan untuk bisa dicalonkan. Belum untuk kampanye, logistik, honor para saksi, dan pembiayaan lainnya.

Sejatinya, partai politik atau gabungan partai politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota.

Jika terbukti menerima imbalan, partai politik atau gabungan partai politik dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama. Tetapi larangan itu harus menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Pasal 187B UU No. 10 Tahun 2016 menyatakan anggota partai politik atau anggota gabungan partai politik yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan kepala daerah, diancam pidana paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan, dan denda antara 300 juta hingga 1 miliar rupiah.

Walau sulit untuk dibuktikan, sudah menjadi rahasia umum bahwa mahar politik ini konon sudah menjadi habituasi. Sudah menjadi kebiasaan. Namun karena tidak ada bukti, Penulis sendiri tidak mempercayai adanya praktek mahar politik ini.

Agar tak ada mahar politik, tak mesti “beli kursi”, tak perlu biaya survey, dan tak perlu iuran untuk membayar hotel tempat penyampaian visi dan misi serta program kerja, maka Khofifah dan Emil merupakan contoh yang tepat.

Bukan Khofifah dan Emil yang mendaftar. Bukan mereka yang melamar. Tapi partai politik yang mengusung. Partai politik yang mendaftarkan. Bukan Khofifah dan Emil yang butuh. Tapi partai politik yang membutuhkan.

Dan untuk bisa seperti Khofifah dan Emil, tidak semudah membalikan telapak tangan. Ada proses yang begitu panjang. Ada kinerja yang harus ditunjukkan. Ada hubungan baik yang selama ini terjalin dengan masyarakat. Disitulah pentingnya menjadi orang baik.

Tangerang, Senin, 3 Juni 2024

Penulis adalah Ketua Forum Diskusi dan Kajian Liberal Banten Society (Fordiska Libas)

LAINNYA