Hutan Sumatera Lenyap Perlahan di Tengah Lemahnya Penegakan Hukum

waktu baca 5 menit
Rabu, 24 Des 2025 20:49 0 72 Redaksi

Tinjauan Politik Hukum Kehutanan di Indonesia

OPINI – Deforestasi yang terjadi di Pulau Sumatera merupakan persoalan serius yang tidak hanya berdampak pada kerusakan lingkungan hidup, tetapi juga mencerminkan lemahnya politik hukum kehutanan di Indonesia. Meskipun negara telah memiliki berbagai regulasi yang mengatur perlindungan hutan, kenyataannya laju deforestasi masih terus meningkat akibat lemahnya penegakan hukum dan dominasi kepentingan ekonomi.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis deforestasi di Sumatera dalam perspektif politik hukum dengan merujuk pada pemikiran Mahfud MD. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa politik hukum kehutanan di Indonesia masih bersifat pragmatis dan elitis, sehingga hukum belum berfungsi secara optimal sebagai alat kontrol sosial dan perlindungan lingkungan.

Penulis berpendapat bahwa tanpa penguatan penegakan hukum dan keberanian politik dari pemerintah, deforestasi di Sumatera akan terus berlangsung dan mengancam keberlanjutan kehidupan masyarakat.

Kata Kunci: Politik Hukum, Deforestasi, Kehutanan, Sumatera, Penegakan Hukum

PENDAHULUAN

Pulau Sumatera merupakan salah satu wilayah dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia dan memiliki peran strategis sebagai penyangga ekosistem nasional. Hutan Sumatera berfungsi sebagai pengatur tata air, pelindung keanekaragaman hayati, serta sumber penghidupan bagi masyarakat lokal dan masyarakat adat. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, kawasan hutan di Sumatera mengalami deforestasi secara masif akibat pembukaan perkebunan skala besar, penebangan ilegal, serta lemahnya pengawasan negara.

Fenomena ini tidak dapat dipahami hanya sebagai persoalan lingkungan hidup, melainkan sebagai refleksi kegagalan politik hukum dalam mengarahkan kebijakan kehutanan yang berkeadilan dan berkelanjutan. Regulasi kehutanan yang ada sering kali tidak diimplementasikan secara konsisten, sehingga menimbulkan kesenjangan antara norma hukum dan praktik di lapangan. Oleh karena itu, artikel ini mengkaji deforestasi di Sumatera dalam perspektif politik hukum guna menilai efektivitas hukum sebagai instrumen kebijakan negara.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Bahan hukum primer berupa Undang-Undang Kehutanan dan peraturan
terkait, sedangkan bahan hukum sekunder berupa buku, jurnal ilmiah, serta artikel media yang relevan dengan isu deforestasi di Sumatera. Analisis dilakukan secara kualitatif dengan menelaah keterkaitan antara regulasi, praktik penegakan hukum, dan politik hukum kehutanan di Indonesia.

POLITIK HUKUM DAN DEFORESTASI DI SUMATERA

Politik hukum merupakan arah kebijakan negara dalam membentuk dan menegakkan hukum untuk mencapai tujuan nasional. Dalam konteks kehutanan, politik hukum seharusnya menempatkan hutan sebagai sumber daya strategis yang harus dilindungi demi kepentingan rakyat dan keberlanjutan lingkungan. Namun, praktik di lapangan menunjukkan bahwa penegakan hukum kehutanan di Sumatera masih lemah dan tidak konsisten.

Alih fungsi hutan untuk kepentingan perkebunan dan industri sering dilakukan tanpa mempertimbangkan dampak ekologis jangka panjang. Menurut penulis, kondisi ini menunjukkan bahwa hukum kehutanan belum difungsikan sebagai alat kontrol sosial, melainkan masih tunduk pada kepentingan ekonomi dan investasi. Akibatnya, deforestasi di Sumatera menimbulkan berbagai dampak serius seperti banjir bandang, tanah longsor, kerugian ekonomi masyarakat, serta hilangnya keanekaragaman hayati.

DASAR HUKUM PERLINDUNGAN HUTAN

Indonesia telah memiliki kerangka hukum yang cukup kuat dalam perlindungan hutan, antara lain Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan, serta Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 dan PP Nomor 23 Tahun 2021. Secara normatif, peraturan tersebut mengatur larangan perusakan hutan serta sanksi bagi pelanggarnya.

Namun, lemahnya implementasi dan minimnya transparansi dalam penegakan hukum menyebabkan regulasi tersebut tidak berjalan efektif. Penegakan hukum cenderung bersifat reaktif, dilakukan setelah terjadi bencana ekologis. Menurut penulis, kondisi ini mencerminkan lemahnya komitmen negara dalam menjalankan politik hukum kehutanan yang berorientasi pada pencegahan dan keberlanjutan.

PERSPEKTIF POLITIK HUKUM MENURUT MAHFUD MD

Mahfud MD menyatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan hukum yang akan atau telah dilaksanakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan negara. Politik hukum mencakup dua dimensi utama, yaitu law making dan law enforcement. Dalam konteks deforestasi di Sumatera, kedua dimensi tersebut belum berjalan seimbang. Regulasi kehutanan telah tersedia, namun pembentukannya sering dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi, sehingga kurang berpihak pada perlindungan lingkungan.

Sementara itu, penegakan hukum yang lemah menunjukkan bahwa hukum belum dijalankan secara adil dan tegas. Menurut penulis, kondisi ini menunjukkan bahwa politik hukum kehutanan masih bersifat elitis, sehingga masyarakat lokal menjadi
pihak yang paling dirugikan akibat deforestasi.

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Deforestasi di Sumatera mencerminkan kesenjangan antara norma hukum (das sollen) dan realitas praktik (das sein).

Politik hukum kehutanan masih menempatkan hutan sebagai komoditas ekonomi, bukan sebagai sistem penyangga kehidupan. Hal ini bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa penguasaan sumber daya alam harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Lemahnya penegakan hukum terhadap korporasi pelaku deforestasi menyebabkan rendahnya efek jera. Banyak pelanggaran hanya dikenakan sanksi administratif tanpa proses pidana yang tegas.

Penulis berpendapat bahwa selama hukum diterapkan secara selektif, maka politik hukum kehutanan akan terus kehilangan legitimasi. Selain itu, minimnya partisipasi masyarakat dalam proses perizinan menunjukkan lemahnya demokrasi lingkungan yang memperparah konflik ekologis.

KESIMPULAN

Deforestasi di Sumatera merupakan permasalahan struktural yang mencerminkan krisis politik hukum kehutanan di Indonesia. Meskipun regulasi telah tersedia, lemahnya penegakan hukum dan dominasi kepentingan ekonomi menyebabkan hukum gagal melindungi lingkungan dan masyarakat.

Penulis berpendapat bahwa reformasi politik hukum kehutanan harus diarahkan pada penegakan hukum yang tegas, transparan, dan berkeadilan ekologis. Tanpa keberanian politik dari pemerintah, deforestasi di Sumatera akan terus berlanjut dan mengancam keberlanjutan kehidupan generasi mendatang.

Penulis: Dinda Ariyana Liyanty Mahasiswi Universitas Pamulang Indonesia, Fakultas Hukum Program Study Ilmu Hukum

LAINNYA